Informasi

Toxic Positivity: Ketika Sikap Positif Malah Jadi Racun

Ilustrasi Apa itu Toxic Positivity

Di tengah tren gaya hidup sehat dan pencapaian pribadi, pesan-pesan motivasi seperti “tetap semangat”, “lihat sisi baiknya”, atau “jangan sedih terus” menjadi hal yang lumrah. Sekilas, ungkapan itu terdengar menenangkan dan mendorong semangat. Namun, tanpa disadari, terlalu sering memaksakan pikiran positif bisa menjadi bumerang bagi kesehatan mental. Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, yaitu bentuk sikap positif yang berlebihan dan menolak emosi negatif secara tidak sehat.

Apa Itu Toxic Positivity?

Toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus selalu berpikir positif dan mengabaikan perasaan negatif, tak peduli seberat apa situasinya. Sikap ini menuntut individu untuk tetap “bahagia” dan “kuat” dalam segala kondisi, yang akhirnya menciptakan tekanan emosional tersendiri.

Alih-alih memberikan dukungan yang tulus, toxic positivity dapat membuat seseorang merasa bersalah karena memiliki emosi seperti sedih, marah, kecewa, atau takut. Padahal, semua emosi itu wajar dan bagian alami dari kehidupan manusia.

Tanda-Tanda Toxic Positivity

Berikut beberapa contoh umum toxic positivity dalam kehidupan sehari-hari:

  • Menyembunyikan atau menekan emosi negatif dengan dalih “aku harus kuat”.

  • Merasa bersalah karena merasa sedih atau kecewa.

  • Mengucapkan atau menerima kalimat seperti “jangan lebay”, “bisa jadi lebih buruk”, atau “setidaknya kamu masih…”.

  • Menghindari percakapan atau orang yang sedang mengalami kesedihan karena dianggap “terlalu negatif”.

Ilustrasi Tanda-Tanda Toxic Positivity

Dampak Toxic Positivity terhadap Kesehatan Mental

Meskipun niat awalnya baik, toxic positivity dapat membawa dampak serius, antara lain:

1. Melemahkan Validasi Emosi

Saat seseorang tidak diberi ruang untuk merasakan dan mengekspresikan emosinya, mereka kehilangan kesempatan untuk memproses perasaan itu secara sehat. Ini bisa menimbulkan penekanan emosi yang justru memperburuk kondisi mental.

2. Menghambat Proses Pemulihan

Pemulihan dari trauma, kehilangan, atau masalah pribadi membutuhkan waktu dan pengakuan emosi. Memaksakan sikap positif justru dapat memperlambat proses healing karena emosi yang belum terselesaikan tetap mengendap.

3. Menciptakan Hubungan yang Dangkal

Jika seseorang selalu merespons masalah orang lain dengan kalimat positif tanpa empati, hubungan emosional menjadi tidak autentik. Ini bisa membuat orang merasa tidak dipahami atau bahkan diabaikan.

4. Meningkatkan Stres dan Kecemasan

Menahan emosi negatif agar tetap terlihat “baik-baik saja” bisa menyebabkan stres berkelanjutan dan memicu gangguan kecemasan.

Bedakan Positivitas Sehat dan Toxic Positivity

Tidak semua pikiran positif itu salah. Yang membedakan adalah konteks dan keseimbangan dalam merespons situasi. Positivitas yang sehat mengakui keberadaan emosi negatif dan memberi ruang untuk merasakannya, sambil tetap berharap dan berpikir ke depan. Sedangkan toxic positivity menolak eksistensi emosi tersebut.

Contoh perbedaan:

  • Positivitas sehat: “Aku tahu ini berat, tapi aku percaya aku bisa melewatinya.”

  • Toxic positivity: “Udahlah, jangan sedih terus. Lihat sisi baiknya.”

Cara Menghindari

Untuk menciptakan lingkungan emosional yang sehat, berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  1. Validasi Emosi Sendiri dan Orang Lain
    Akui bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih, marah, atau takut. Emosi itu valid.

  2. Berlatih Empati
    Dengarkan tanpa buru-buru memberi solusi atau mengalihkan topik. Kadang, seseorang hanya butuh didengar.

  3. Gunakan Bahasa yang Lebih Menerima
    Alih-alih berkata “jangan nangis”, coba katakan “aku di sini kalau kamu butuh teman bicara”.

  4. Berani Tampil Rentan
    Membiarkan diri terlihat lemah bukan berarti lemah. Justru itu bentuk keberanian untuk jujur pada diri sendiri.

  5. Cari Dukungan Profesional Jika Perlu
    Terapi atau konseling bisa membantu memahami emosi dengan lebih dalam tanpa merasa dihakimi.

Kesimpulan

Toxic positivity adalah bentuk penyangkalan emosi yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental. Alih-alih menekan perasaan negatif, penting untuk mengakuinya, memahaminya, dan belajar mengelolanya dengan cara yang sehat. Dunia tidak membutuhkan orang yang selalu tampak kuat, tapi orang yang jujur pada emosinya dan mampu tumbuh darinya.

Baca juga : Cara Mengatasi Kecemasan dan Depresi dengan Teknik Relaksasi